Apa Itu Sesasren (Bagian 2)



     Klenik Culture, adalah bahasa yang saya pilih untuk menggambarkan kebiasan dan kehidupan spiritual masyarakat dusun, dimana hal-hal yang dianggap klenik sebenarnya sulit dipisahkan dari masyarakat dusun. Sesasren #3 akan kami kemas dengan persentase verbal yang lebih banyak, yakni mantra-mantra atau kidung-kidung.

Tentang klenik dan masyarakat dusun, memang akhir-akhir ini banyak pergerakan dan kesadaran spiritual yang menganggap klenik sebagai sesuatu yang tidak ilmiah, meskipun bigitu saya yakin kesadaran itu tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat dusun. Dalam tradisi klenik juga dihubungkan secara erat, dengan ini sesasren juga mengupayakan untuk kembali mendekatkan masyarakat dengan dengan klenik culture, tentunya tidak dengan menyimpangan atau merubah tata cara spiritual secara syariat.



      Lalu apa hubungan methil dan klenik? seperti di bagian satu, methil merupakan salah satu gambaran rasa syukur atas nikmat tuhan, yang pada saat ini hal-hal tersebut dianggap tidak ilmiah bahkan musrik. Sebenarnya kesadaran rasa syukur masyarakat dusun melalui tradisi-tradisi (khususnya methil) sangat mendasar, yakni mereka mendapat sesuatu nikmat melalui perantara atau kerap disebut lantaran, dan berusaha mengungkapkan rasa syukur juga melalui lantaran.

Tetapi dalam apa itu sesaren bagian 2 ini, saya tidak akan banyak membahas perbedaan tersebut, karena fokus sesasren adalah mengupayakan untuk mengembalikan uforia dan kesadaran atas tradisi. Setelah sesasren yang pertama kami mengangkat tema "swarganing among tani, lumbung-lumbung kebak pari" dimana dalam tema ini kami mengupayakan untuk memantik masyarakat dusun dengan tema yang sesuai harapan masyarakat, petani mencapai kemuliaan dengan melimpahnya hasil panen. Kemudian pada sesasren #2 kami memilih tema "sing menthes ndingkluk, sing gabuk ndangak" dengan harapan sedikit memperhalus pemantik terhadap masyarakat dengan tema yang lebih halus lagi, yakni mencapai kesadaran "aja rumangsa bisa, jning bisaa rumangsa".


        Lalu apakah tema-tema tersebut berkaitan dengan methil? iya, kesadaran yang paling kasar sampai yang paling halus sangat berkaitan dengan kegiatan tradisi di masyarakat dusun, dalam pertanian teman-teman didusun secara tidak langsung mengakui, bahwa hasil dari pertanian tidak hanya tergantung kepada tekhnis, tetapi juga faktor non tekhnis yang mempengaruhi. "Anggere aku methil, kaya-kaya asile ora rugi", kalimat itu sering terdengar dari masyarakat dusun, dasarnya jelas, kasih dan mengasihi, masyarakat meyakini bahwa apa yang kita dapat juga tergantung dari apa yang kita berikan. Jika di uraikan lagi sebenarnya akan lebih jelas tentang hubungan antara apa yang kami upayakan dalam naskah dan tema dengan kesadaran masyarakat atas nilai-nilai tradisi.

    Kemudian sesasren #3, kami memilih tema "hangidung tunggil mantra" diamana kami mengupayakan kesadaran tentang daya cipta manusia akan semakin nyata jika bersama-sama. Bersama-sama memanjatkan pujian dan harapan dengan nilai yang sama, apapun itu. Maka pada sesasren #3, mantra-mantra dan kalimat-kalimat sastra lama berusaha kami jadikan pemantik kepada masyarakat untuk kembali meyakinkan bahwa manusia memiliki sisi cipta yang kuat, kembali menguatkan masyarakat bahwa mantra-mantra dan sastra lama bukan tentang kemusrikan atau klenik belaka, namun juga merupakan salah satu bentuk berdoa dengan cara yang lain, semoga hangidung tunggil mantra mampu kembali mendekatkan masyarakat dusun dengan kesadaran-kesadaran keindahan, kekuatan lantunan do'a, dan berdampingan saling mengasihi dengan alam dan lingkungan. 



*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama