Revolusi Mental (bagian 1)

Revolusi mental, dua kata yang terdengar heroik. Satu dekade ini sangat terngiang kalimat itu, ya kalimat yang membuat banyak orang kagum, tetapi juga tidak sedikit yang bertanya "mental yang mana?". Mengingat era lama, jadul atau kuno kerap menjadi pembanding atas apa yang masa kini terjadi, tekhnologi, pola berpikir, kepercayaan diri hingga kesadaran manusiawi dan masih banyak lainya. Kemudian banyak lahir pertanyaan "Sebenarnya mental mana yang direvolusi?".

Ya, satu dekade terakhir memang banyak anonim-anonim yang terjadi, satu menganggap kemajuan yang lain menganggap kemunduran dan satu menganggap kemunduran yang lain menganggap kemajuan, memang dalam hal apapun dialek seperti itu selalu berdampingan dengan kejadian, katanya pro dan kontra. Oke, kali ini saya akan mencoba menuliskan sudut pandang tentang revolusi mental dalam hal pendidikan. Karena menurut saya pendidikan adalah sebab utama dari maju atau mundurnya mental, dan mental itu yang nantinya membentuk sebagai perorangan juga kita sebagai kelompok.  Dan disini saya hanya akan menuliskan sependek apa yang saya lihat dilingkungan terdekat saja, karena terlalu yakyakan untuk menyenggol kapal besar.


                        Source: Kompas


Teman-teman disini kebetulan ada beberapa yang terlibat di dunia pendidikan, baik sebagai guru tetap atau guru tamu (tentunya honorer ya manteman), dan kebetulan saya sendiri beberapa kali membantu beberapa sekolah dalam beberapa kegiatan. Teman-teman disini sepakat, bahwa sistem yang di terapkan tidak menjadi yang terbaik, anehnya tetap terus berjalan, semakin tebal pertanyaan "Sebenarnya mental mana yang direvolusi?". Salah satu indikasi yang menjadikan teman-teman gemes adalah bukan hanya satu dua murid yang belum menguasai baca tulis dengan baik, jika alasanya adalah keadaan internal murid seharusnya tidak merata dan dengan tidak sebanyak itu, atau jika ketertinggalan lingkungan yang menjadi alasan juga kurang tepat, mengingat beberapa pengakuan tentang pemerataan bangunan dan fasilitas yang sudah tidak diragukan lagi. Lantas, apa yang menjadi alasan tepat dari kasus ini?


Teman teman yang terlibat dalam dunia pendikan diatas sepakat, ini perkara sistem, apakah satu dekade dekade belum cukup waktu untuk menganalisa? seharusnya lebih dari cukup, mengingat penguasaan dalam hal baca tulis adalah hal yang paling terlihat jelas dari dampak pendidikan. Revolusi mental, lagi-lagi menjadi kata ajaib yang menimbulkan pro-kontra dangan intensitas waktu yang lama, pengabdi akut-pemberontak akut, cebong-kampret, menjadi perhatian lebih di masyarakat dan media besar dibandingkan anak murid kelas 5 SD belum dengan baik menguasai baca tulis, bahkan belum baiknya baca tulis siswa SMA pun tidak begitu menarik untuk diberitakan. Lagi-lagi, yang direvolusi mental yang mana?

       Source: TribunJateng

Pendidikan dan revolusi mental seharusnya menjadi berita yang tak habis-habis diberitakan, tentunya berita dengan tendensi kepedulian, keprihatinan atau sekedar tebar pesona agar dikira budayawan atau apalah. Seharunya kita sangat paham bahwa pendidikan benar-benar akar dari pola pikir, gaya hidup, kebijaksanaan, atau mental itu sendiri. Satu dekade terakhir banyak pergeseran yang menurut saya nemen, mental meniru salah satunya. Mental meniru, kenapa? apakah kita tidak PD jika tidak sama dengan yang dianggap maju? apa yang dianggap maju benar-benar yang paling baik? apakah iya kita tidak PD? apa dengan meniru yakin kita bisa lebih baik? dari sistem ini apa yang sudah dihasilkan? aplikasi yang narasinya mensejahterakan? hehe tentunya tentang aplikasi jasa itu tidak salah, tetapi apakah itu hasil terbaik? semoga belum.

          Source: detikcom

Setelah kurang menguasainya baca tulis beberapa siswa tidak menjadi pilihan untuk diberitakan, kemudian ada kebijaksanaan dalam sistem, yang katanya mempermudah untuk mengetahui kompetensi siswa, tetapi faktanya kompeten siswa tidak secara maksimal terurai, atau minimal 50%pun tidak, salah satunya karena katrol nilai menjadi tren hampir di semua atau bahkan semua sekolah. Hal itu menjadi salah satu sebab mental anak menjadi mboyak mbodil, karena saya sendiri pernah mendengar "hlawong aku melu cerdas cermat, mosok pijiku pada karo kancaku sing gak isa maca? ya mending aku tak rasinau wae, pada-pada entuk piji wolune", hehe itu tidak aneh mengingat masing-masing anak yang cerdas memiliki daya kritis yang uhui. Semakin gemes saja, mental mana yang direvolusi?

Biar mental nya terevolusi, nanti lanjut bagian berikutnya.

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama